Kolam berbentuk Hati..


Malam belum turun, masih jauh. Namun langit telah gelap pekat. Awan-awan berubah kelabu, seperti kelelahan menggendong titik-titik air dalam tubuhnya. Sudah hampir satu jam Kencana berbaring di sofa ruang depan sambil memandangi langit dari jendela besar yang terlapis kaca tebal. Dipeluk lututnya semakin erat, menguncupkan tubuhnya yang mulai kedinginan. Telinga mungilnya menangkap gesekan benda lembut beradu dengan lantai keramik. Suara sepasang sendal boneka besar dan lucu yang membungkus sepasang kaki ramping milik Senandung, kakaknya.
“Sudahlah, Na. Maafkan dia, ya?” pinta Senandung. Kencana bergeming. Dipejamkan matanya saat Senandung menutup jendela. “Maafkan dia, Kencana. Oke?” ujar Senandung lagi. Kencana membuka mata, menangkap bayangan Senandung yang berdiri tidak jauh, tengah mengamatinya. Setelah menggeliat sejenak, Kencana lalu berdiri dan beranjak.

Hujan turun, semakin lama semakin lebat. Suara kerasnya saat membentur genteng, terdengar sedikit menyeramkan, tapi Kencana sama sekali tidak takut. Gadis itu justeru sangat menyukai hujan. Menyukai aroma air saat beradu dengan tanah. Aroma khas, yang menghantarkan kesan kesendirian dan kesenduan yang misterius. Kencana berjalan menuju serambi belakang rumah.
Di sana terdapat halaman lumayan luas yang tertata rapi dan segar dengan koleksi mawar-mawar milik Mamanya. Di sisi kiri halaman, diletakkan dua buah bangku kayu panjang yang dilindungi oleh sebuah atap dari bahan jerami. Sekelilingnya dipagari tembok setinggi dengkul, hingga menyerupai gazebo. Bangku-bangku kayu tersebut tepat menghadap sebuah kolam ikan berbentuk hati. Kolam ikan buatan Papanya. Ah, kenapa pula Papanya dulu membuatnya berbentuk hati? Hati itukan melambangkan cinta. Sementara…
“Nih buat kamu,” Senandung memenggal lamunannya dan mengangsurkan secangkir coklat panas yang mengepul-ngepulkan asap. Kencana menerima cangkir tersebut. “Forgive and forget! Senandung menyeruput coklat panasnya sedetik setelah mengucapkan kalimatnya.  Kali ini tak ada tanda tanya di akhir kalimat. Mungkin dia sudah lelah melemparkan kalimat tanya yang tak kunjung mendapat jawab. Dan kalimatnya kali ini sepertinya hanya menyerupai sebuah pernyataan, penjelasan, atau bahkan mungkin perintah.

“Nggak segampang itu, Kak,” jawab Kencana. Kalimat pertama yang diucapkannya hari ini.
“Kakak tahu memang nggak gampang, tapi kamu pasti bisa,” lengan Senandung membelai pundak Kencana lembut. “Asal kamu mau, pasti bisa,” gadis pemilik wajah cantik itu memandang manik mata adiknya, seolah sedang mencari sesuatu di dalam sana. Tapi kemudian Kencana menggeleng, kuat dan tegas.
“Aku benci melihat kolam ikan ini!” Kencana menunjuk kolam ikan di hadapannya dengan menggunakan dagu. “Harusnya kolam ini dihancurkan saja!” cetusnya lagi.
“Tapi itu nggak mungkin, karena Mama sangat menyukai kolam ini,” Senandung tersenyum tipis. Sabar merespon pernyataan-pernyataan yang sama, yang diikrarkan hampir setiap hari oleh adik bungsunya itu.
“Kalau gitu ubah bentuknya saja,” Kencana menyeruput coklat dalam gelas. “Buat bentuk bulat, kotak atau bahkan segitiga.”
“Sudahlah, jangan permasalahkan kolam ini lagi. Kolam ini sudah ada lebih dari 18 tahun, bahkan sebelum kamu lahir,” Senandung menyibakkan anak-anak rambut yang menutupi kedua mata Kencana yang tajam. “Yang paling penting bukan mengubah bentuk kolam ini, tapi memperbaharui ini,” kali ini Senandung mengetuk-ngetuk dadanya sendiri.

“Hatiku nggak bisa diperbaharui lagi, karena ia telah membeku!” suara Kencana melengking. Senandung sedikit terkejut, namun detik berikutnya telah mampu menguasai suasana lagi. Dia tersenyum, lalu kemudian beranjak meninggalkan Kencana sendirian.
Kencana menengadahkan kepala ke langit. Bukan karena saat itu ada sekawanan bintang yang muncul terlalu dini dan menggodanya, bukan. Tapi karena dia tak ingin ada airmata yang terlahir. Sudah terlalu banyak cairan yang dipompakan oleh mata indah yang selama ini menjadi kebanggannya itu. Sejak saat ini, esok, dan selamanya, Kencana berjanji takkan ada setetes air pun yang akan dikeluarkannya lagi. Terlebih untuk seseorang yang sangat dibencinya. Yaitu orang yang membuat kolam ikan yang sangat tidak disukainya ini. Papa.
Berdasarkan cerita yang didengar dari Mama, Senandung, dan kakak laki-lakinya, Fajar, kolam ikan ini dibuatkan oleh Papa, khusus buat Mama yang sedang mengandung Kencana. Papa memilih membuat kolam berbentuk hati, sebagai wujud rasa cintanya kepada Mama dan anak-anaknya. Sangat romantis, sekaligus ironis.

Kolam itu memang sebagai simbol rasa cinta Papa, tapi ternyata bukan kepada Mama seorang, melainkan juga kepada wanita lain. Entah bagaimana kejadiannya, Mama memergoki Papa sedang mempersembahkan cintanya kepada sekretaris pribadinya. Mama shock dan sangat marah, hingga menyebabkannya blooding. Mau tidak mau bayinya harus segera dikeluarkan dari dalam perut Mama. Padahal usia Kencana kecil saat itu baru tujuh bulan. Dia pun terlahir premature. Selama hampir satu bulan, Kencana harus berada dalam incubator. Syukurlah Tuhan tidak membiarkannya memiliki kekurangan psikologis yang berarti. Kencana hanya memiliki sedikit masalah intelegensi. Dia harus berjuang dua kali lebih keras dari teman-temannya yang lain, untuk bisa memahami pelajaran yang sama.

Kolam buatan Papa masih tetap bertahan kokoh hingga kini dan tetap menjadi ornamen yang paling disukai Mama. Selalu membuat Kencana bertanya-tanya, terbuat dari apakah hati wanita itu? Mengapa Mama masih menyayangi kolam buatan Papa? Padahal bentuk hati itu justru menjadi simbol betapa gampangnya laki-laki itu membagi hatinya kepada dua wanita sekaligus.
Sejak kejadian Mama memergoki perselingkuhannya, Papa kemudian memutuskan untuk keluar dari rumah. Sama sekali tak ada surat cerai dari pengadilan, namun Papa tetap pergi dan memulai kehidupan barunya dengan sekretarisnya tersebut. Sesekali Papa masih datang berkunjung ke rumah, sekedar untuk membelikan mainan kepada anak-anaknya. Namun berbeda dengan Kencana. Setiap kali lelaki itu berkunjung ke rumah, Kencana tidak pernah mau duduk di pangkuannya seperti yang dilakukan Senandung dan Fajar. Kencana selalu menghindar dan  mengintip dari jauh saat laki-laki itu mengajak kedua kakaknya bermain.

Di usia 8 tahun, pernah suatu kali ketika Kencana sedang tidur siang, orang yang disebut Papa itu datang ke rumah. Kencana terbangun saat merasakan tubuhnya terguncang tidak nyaman. Kencana histeris, ternyata Papa sedang memeluknya. Kencana menjerit dan menangis ketakutan. Sama sekali tidak akrab dengan pelukan kuat dari seorang laki-laki dewasa. Sampai-sampai, Kencana mengompol dalam dekapannya. Sejak itu, Mama melarang Papa menyentuh anak bungsunya itu lagi.
Kini, setelah berusia 17 tahun, di suatu sore berhujan dua pekan lalu, Papa datang dan menyatakan niatnya ingin kembali. Ratusan kalimat penyesalan mengalir dari bibir tipisnya. Kencana mengamatinya dari sudut ruangan.

“Kemari sayang,” tiba-tiba Mama sudah berada di samping Kencana dan dengan lembut menariknya menuju tempat Papa duduk. Perut gadis jangkung itu menegang.
“Kencana, maafkan Papa. Papa sayang sama kalian semua. Tolong beri Papa kesempatan untuk kembali mencintai kalian, terutama kamu. Anak yang sudah 17 tahun Papa acuhkan.” Beberapa tetes air jatuh membasahi ujung celana pendek Kencana yang tipis. Laki-laki yang ingin dianggap Papa itu, menangis seraya mendekap kedua kakinya. “Bagaimanapun, Papa ini adalah Ayahmu. Kamu nggak bisa memungkirinya!” ujarnya. Kencana tersentak.
“Aku nggak pernah minta dilahirkan!” kalimat Kencana dingin dan getas. Dihentakkan kedua kakinya dari pegangan Papa. Secepat kilat Kencana berlari ke kamar tidurnya.
Saat Kencana meletakkan cangkir kosong di dekat kakinya, lagi-lagi mata tajamnya menubruk kolam ikan. Kolam yang mewakili cinta dan pengkhianatan Papa.
Setelah 17 tahun asyik dengan dunia barunya, dengan gampangnya dia ingin kembali lagi. Kemana dia selama ini saat keluarganya membutuhkan hadirnya? Dimana dirinya saat Mama harus berjuang memanjat lemari hias untuk bisa mengganti lampu ruang tengah yang putus? Tahukan dia bagaimana perasan anak-anaknya setiap melihat teman-teman yang diantar dan dijemput Papanya ke sekolah? Bisakah dia merasakan hati Kencana yang berdarah ketika beberapa teman mempertanyakan tentang Papanya yang tak berwujud? Di saat keluarganya tengah menangis meratapi nasib, dia justru sedang sibuk dengan cinta semunya.

Kalau dipaksa jujur, Kencana mengakui kalau hatinya yang terdalam merindukan Papa. Itulah sebabnya setiap malam sebelum tidur, Kencana selalu berdoa kepada Tuhan agar luka hatinya bisa sembuh dan dirinya ikhlas mengampuni Papa. Tak jarang, dengan sembunyi-sembunyi Kencana menangis. Menangisi hatinya yang penuh kerinduan. Salah satunya adalah kemarin.
Di suatu malam, saat Kencana, Mama, Senandung, dan Fajar sedang asyik berbincang dan bersenda gurau di ruang keluarga. Pada saat itu ponsel Fajar berdering, dari Papa. Fajar mengaktifkan speaker ponselnya, sehingga seisi ruangan bisa mendengar setiap kata yang diucapkan Papa dari seberang sana. Papa masih konsisten dengan usahanya. Dia tumpahkan semua keluh dan penyesalannya telah meninggalkan mereka selama ini.
Fajar merespon positif, yang menunjukkan bahwa dirinya sangat bahagia Papa kembali. Kencana pura-pura sibuk dengan remote TV di tangan, namun telinganya siaga mendengarkan. Papa berbicara bergantian dengan Mama dan juga Senandung.
Setelah hampir satu jam, Papa mengakhiri pembicaraan. Fajar meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Kencana merasakan ada yang perih di rongga dadanya. Papa sama sekali tak menanyakan keadaan dirinya. Lelaki itu mengacuhkannya, seolah dia hanya memiliki dua orang anak saja. Hati Kencana terasa sakit, perih dan berdarah. Seperti diiris-iris, lalu dipanggang di atas perapian yang membara, setelah ditetesi air asam sebelumnya.
Kencana beranjak dari ruang keluarga, beralasan ingin mandi. Di dalam buth up, dia menangis dalam diam. Tak ada suara yang terdengar dari mulutnya, tapi cairan tak henti-henti terpompa dari pelupuk matanya yang bening.
* * *
Waktu terlompati dengan cepat. Tak memberikan kesempatan untuk menunggu orang-orang yang bergerak lamban. Satu purnama berlalu. Kencana sedang duduk di tempat favoritnya, gazebo di taman belakang, ketika Mama datang menghampiri.
“Kencana, kamu siap-siap. Kita.., kita bakalan ada acara,” suara Mama lirih. Kencana mengangkat wajah dari kolam ikan berbentuk hati yang entah sudah berapa lama dipelototinya. Gadis itu terkesiap karena mendadak Mama merangkulnya.
“Apa, Ma? Acara? Acara apaan?” tanya Kencana bingung.
“Sebentar lagi Papa datang. Jadi kita harus siap-siap. Senandung udah nelepon keluarga kita yang lain,” kini tangis Mama tumpah. Tengkuk Kencana ikut basah oleh air matanya.
“Tapi kita kan belum mutusin untuk nerima Papa lagi, Ma,” Kencana membebaskan diri dari dekapan Mama. “Lagipula, kenapa harus ngundang keluarga yang lain? Mama mau ngumumin sama semua orang?!” suara Kencana melengking.
“Kita memang belum mutusin untuk nerima Papa, tapi kita harus maafin Papa,” suara Mama tidak begitu jelas, tertelan isaknya yang semakin dahsyat. “Papa tiba-tiba terserang stroke. Barusan Papa meninggal.”
Kencana terkesiap, bulu kuduknya meremang. Sama sekali tak menduga ending sejarah keluarganya akan begini. Kencana memejamkan mata dan mengerjapkannya berkali-kali. Tapi sama sekali tak ditemukannya setetespun air pun di sana.
* * *
Langkah kaki Kencana terayun menghampiri Mama yang berdiri di dekat kolam ikan. Wanita itu tengah berbicara dengan Pak Diman, tukang kebun keluarga.
“Kenapa, Ma?” Kencana ingin tahu, demi melihat wajah Mama yang serius.
“Menurut kamu, bagusan kolam ini diubah jadi bentuk apa? Bulat, berbentuk ikan, atau…”
“Mama mau mengubah bentuk kolam ini?” Kencana memotong ucapan Mama. Mama mengangguk dan tersenyum tipis. “Tapi kolam ini kan hadiah dari Papa, dan Mama suka banget. Jadi kenapa pake diubah segala, Ma?”
Mama menghela napas. Wanita itu tampak mendadak bertambah tua sepuluh tahun dari usia yang sesungguhnya, semenjak Papa meninggal seminggu yang lalu.
“Mama tahu kalau kamu nggak suka sama bentuk kolam ini. Maaf kalau selama ini Mama lebih mentingin perasaan Mama daripada kamu. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk mengubah bentuk kolam ini,” ujar Mama lirih. Kencana melangkah mendekat, menubruk dan merangkul Mama kuat-kuat.
“Aku sudah maafin Papa!” seru Kencana. Mama meregangkan pelukannya dan mengangkat wajah Kencana, mencoba mencari kebenaran di sana. “Dan bentuk kolam ini juga jangan diubah. Aku ingin kolam berbentuk hati ini bisa mewakili hatiku yang ini,” Kencana menunjuk dadanya sendiri. “Karena hatiku sudah penuh akan kerinduan yang selama ini terendap. Dan sekarang hatiku sudah nggak sanggup lagi untuk merindu. Jadi biarlah mulai sekarang kolam ini yang akan menggantikan hatiku untuk merindukan Papa!” Kencana menatap manik mata Mama dalam. Bola yang kemudian berpendar penuh bahagia. Sedetik kemudian, lengan-lengan lembut Mama kembali merengkuh dan menggulung gadis bongsunya itu dalam dakapan hangat kasihnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tahun baharu?

Mana Mak?

Kisah tudung labuhku :')